Jumat, 26 November 2010

untitled

Semalam aku kembali berjalan menyusuri kompleks, dengan tujuan mencari keramaian atau sekedar kegaduhan canda dan tawa anak anak muda di dekat rumah. Hal seperti ini tak dapat dipungkiri adalah salah satu obat pelipur lara yang murah untukku.

Setelah mencari di beberapa spot andalan mereka, akhirnya aku mendapatkan juga kegaduhan itu. Malam ini anak2 nongkrong di "stasiun pengisian ulang air minum / galon" milik salah satu kawan di dekat rumah. Obrolan seputar pekerjaan, kuliah bagi yang belum selesai, perempuan dan seputar kejadian- kejadian lucu sewaktu berpesta dengan zat adiktif, reaktif atau zat apalah nama keren dan halus dari alkohol malam sebelumnya.

Di tengah obrolan canda tawa kami, seorang yang cukup lama tak kulihat memberiku pertanyaan yang telah bosan aku dengar, "Sarjana mko Fur???". Dengan politis aku menjawab, "Insya ALLAH tahun ini, Doakan saja". Eh tak disangka dia berkomentar pedas layaknya Anang Hermansyah di sebuah ajang pencarian bakat plagiat di salah satu stasiun TV di negara kita. "Bagaimana ko mau cepat selesai kalo kerjamu hanya cerita2 konyol dsini sama ana2,, keliling tempat wisata dan nongkrong dgn orang-orang yang gak jelas. Pantas ko lama selesai". Teman2 lain hanya tertawa kecut dengan komentar orang itu, aku yakin dalam benak mereka bertanya kenapa ada orang seperti ini yang dating mengganggu kami bercerita lepas di malam ini. Dalam hati aku tertawa dan berkata tenang teman-teman, biarkan dia berkomentar dengan perspektif sempitnya.
Secara tak sadar dia menyinggung dirinya sendiri. Seorang pemuda berpredikat sarjana yang diraihnya beberapa tahun lalu, status : masih mencari pekerjaan yang layak (pekerjaan yang menurut orang banyak prestisius,aman, basah, terjamin dan terpandang atau apapun lah yang jelas mainstream. Hahahahahahaha). Senantiasa berada di bawah ketiak orang tua yang notabene memang (mungkin) strata ekonominya di atas kami para penduduk sekitar. Setiap ada tes penerimaan pegawai, dia adalah orang terdepan. Tak lupa juga dibumbui dengan intrik-intrik bahwa dia punya jaringan kuat di dalam birokrasi penerimaan tersebut. “ ada ji anggotana pace ya uruska di dalam” atau “ada jatahx Pace didalam tinggal bayar beberapa puluh juta langsung lolos”, itulah beberapa ungkapan yang sering terdengar dari mulutnya. Entah apa maksudnya bercerita seperti itu. Apa ingin menasbihkan keberadaan keluarga dan dirinya atau hanya sekedar membuat gentar temanku yang lain yang ikut tes yang sama. Tapi mengherankan dia masih tetap disini dan masih ikut bercerita. Belum ada gebrakan ekstrem kalau aku bisa menyebutnya ( mungkin agak kasar ). Padahal dengan kekuatan finansial yang orangtua nya punya, dia telah mempunyai usaha kecil yang menurut diriku secara ekonomi ( mentang2 aku menimba ilmu di jurusan ekonomi) jika dikelola dengan manajemen yang baik, cukup menjanjikan hasilnya. Tetapi masih juga berambisi mencari pekerjaan mapan dengan penghasilan pasti dan konstan tiap bulannya (mainstream). aku tidak mengatakan ambisinya salah, tetapi mungkin tujuannya hanya ingin dapat status kemapanan dari masyarakat, sungguh tujuan yang klise bagiku.

Berkali-kali ikut tes, berkali-kali bercerita tentang jaringan kuat yang back up dirinya, dan berkali-kali pula bertemu orang sepertiku dan mengutarakan pendapat anehnya. Dasar sempit, mungkin peribahasa yang cocok untuk dia adalah peribahasa yang diplesetkan “dunia hanya selebar daun kelor”. Gestur tubuhnya saat berbicara dengan orang yang dia anggap dibawahnya sangat berbeda dengan orang yang sepadan (sekali lagi menurut perspektif sempitnya) strata sosial maupun ekonominya. Aku sangat risih berada disampingnya tatkala dia menanyakan rencana ke depan seorang kawan sedang menunggu pengumuman tes pekerjaan yang sama dengan dirinya, pertanyaan yang sangat absurd bagiku. “apa mi lagi ko bikin ini klo nda lulusko? Ato ada mi juga dekkeng mu iya??” suaranya lantang membahana. Aku berusaha melihat ekpresi kawanku setelah pertanyaan itu menyerang dirinya, dan “ @#$%^&V(*&)^%^ “ pikiran dalam otak ku berkecamuk, jika aku punya kekuatan super aku akan lebih memilih jadi batu dari pada mendengar pertanyaan absurd dengan maksud yang entah apa (shit). Dengan menjadi batu aku tak perlu marah mendengar pertanyaan sarkasme yang dia lontarkan, dengan menjadi batu aku tak perlu melihat ekpresi kawanku yang sangat sabar tertawa kecut.

Hujan tiba-tiba datang saat aku membuat tulisan ini. Kepalaku kuangkat dan melihat sekumpulan anak masih asik bermain sepakbola dengan riang gembira di sebidang lahan kosong yang sudah sangat jarang ditemui. Ini membuatku malas berpikir untuk mengingat kesempitan pikiran orang itu untuk aku tuangkan disini. Aku beranjak berteduh sembari tetap mengawasi anak-anak itu bermain. Sungguh indah dunia mereka, tanpa ada kemunafikan, gengsi atau apalah. Mereka tetap bermain bersama. Tetapi dengan bertemu orang berpikiran sempit seperti dia aku juga bersyukur, perbendaharaan ragam orang yang kutemani bersosialisasi bertambah. Tenang lah dia tetap temanku, aku akan tetap bergaul dengan orang seperti dia. Ekskutif muda, bos besar, pegawai biasa, buruh kasar, pemabuk jalanan, bahkan pelacur sekalipun akan tetap aku temani bersosialisasi. Bukankah semakin banyak orang yang kita temui dan bersosialisasi akan membuat kita menjadi kuat dan lebih dewasa (entah menurut literature mana, tapi kalau tidak salah saya pernah baca. Entahlah paling tidak ini menurut saya).

Alarm di telepon selulerku berbunyi, oh rupanya sudah sore. Saatnya para pemuda mengambil giliran menggunakan lahan kosong ini. Lahan kosong berpasir berwarna coklat kehitam-hitaman tapi menjadi lebih berwarna karena berdiri di atas semua golongan. Teman-temanku mulai berdatangan. Pegawai bank swasta,pegawai kejaksaan, pegawai negeri lainnya dan tak lupa mahasiswa yang kost di sekitar daerah ini, buruh bangunan, pemuda-pemuda yang baru bangun dari tidurnya akibat semalam mabuk hingga pagi menjelang, bahkan pemilik toko kelontong meninggalkan tokonya hanya untuk mengambil bagian pada permainan sepakbola sederhana di lahan ini. Inilah waktu untuk diriku untuk bergabung, hujan tak menjadi halangan bagi kami untuk turut serta mewarnai lahan kosong ini.

Kamis, 04 November 2010

"May this situation make me stuck????"

Bulan yang sangat menjenuhkan bagiku kurasa. Aku selalu menanamkan bahwa masalah adalah jika kamu mempermasalahkannya, pusing jika kamu pusing memikirkannya, beban jika kamu membawanya tanpa arah. So use ur brain and mind, make it easy and make it slow then u can solve the problem. Tapi entah kenapa terbersit di pikiranku bahwa aku tak dapat menjalankan tanaman prinsip yang telah aku tumbuhkan sendiri di kepalaku.

Birokrasi kompleks dan feodalnya pemikiran para pengambil kebijakan kampus
Kelakuan aneh anak muda sekitar mengenai perempuan berjilbab. (hahahaha ada2 saja)
Aktivitas yang mulai monoton bagiku
dan
Ekspektasi yang begitu tinggi orang orang paling dekat denganku secara genetis kepadaku


Oh...."May this situation make me stuck????" I hope not really happen to me. I want to be free man. There's no cage can stuck my mind and my self, at least I hope so

Selasa, 03 Agustus 2010

Mari (lebih) Sering Berjalan Kaki

“Fur ko masih dsini atau mau ikut ke bandara???”.
Suara seorang kawan memecah keheningan di dalam kepalaku. Kepala yang masih pusing akibat tidur kurang, kondisi tubuhku juga tampaknya sedang menurun. Ini mungkin karena pancaroba cuaca yang ekstrem akhir-akhir ini (padahal kita tahu kalau musim sudah tak menentu dari beberapa tahun lalu).
“ nda usah ma ikut ke bandara deh, belum mandi ini. Ikut sampe depan ma saja,nanti saya minta jemput sama tetanggaku” jawabku.
Aku tidak ingin menghambat perjalanan kawanku ke bandara untuk menjemput Ibundanya, jangan sampai hanya karena keegoisanku untuk minta diantar pulang ke rumah dia terlambat menjemput salah satu wanita paling berpengaruh dalam hidupnya. Dan kami pun segera turun ke bawah, mobil telah menunggu dan perjalanan pun dimulai.
Jarak rumah temanku ini dari jalan protokol tempat aku janjian dengan tetanggaku untuk di jemput sebenarnya tidak lebih dari 500 meter. Tapi entah kenapa seakan-akan perjalanan 500 meter ini menjadi adegan slow motion. Kami melewati pos polisi, dan seketika itu pula temanku bercerita tentang kegiatan Kuliah Kerja Nyata yang sedang dia jalankan di salah satu Kantor Polsek di kota ini. Dia berandai-andai jikalau dia KKN di polsek yang tadi kami lewati,
“pasti tidak terlalu capekma itu dih??? Dekatnya rumahku itue “ serunya.
Mobil masih serasa bergerak lamban, tiba-tiba becak lewat berlawanan arah dengan kami. Seorang wanita duduk manis diatasnya, tapi tak jelas wajah wanita itu. Masih muda atau sudah setengah baya, yang jelas cuma warna dibalik rok mini yang dia kenakan. Ternyata ukuran rok dan pahanya mungkin tak seimbang, roknya tersingkap dan memperlihatkan secara samar namun pasti warna apa dalamannya. Hahahahaha, aku tertawa dalam hati. Kulihat mata temanku juga memperhatikannya, tetapi kala pandangan kami bertemu kami bertingkah seolah kami tidak melihat dan tertarik akan pemandangan tadi. Obrolan kami masih seputar kegiatan KKN, beberapa rencana liburan yang entah kapan jadinya dan ternyata aku telah sampai ditujuan pertama. Tempat dimana aku akan menunggu jemputan, tempat rame karena merupakan salah satu jalan protokol di kota ini. Aku minta diturunkan, mengucapkan terima kasih dan hal basa-basi lainnya yang biasa diucapkan saat akan berpisah tujuan.
Lima menit aku menunggu, tiba-tiba di dalam otakku ada pikiran lain. Kuambil handphone di kantong celana dan menelpon kawanku yang akan menjemput. Layaknya Direktur perusahaan aku membatalkan jemputanku, “datang mi seng aneh-anehmu. Oke lah, kebetulan ada juga saya kerja” suara temanku diujung telepon sedikit menggerutu. Aku memilih untuk jalan kaki, sudah lama aku tak berjalan kaki di tengah hiruk pikuk kota ini. Mungkin aku sedikit terinspirasi sebuah artikel yang mengangkat mulai pudarnya kebiasaan masyarakat di kota ini untuk berjalan kaki yang baru aku baca seminggu lalu. Panas dan teriknya mentari seakan mendramatisir pilihanku untuk berjalan kaki. Aku melewati penjual buah, tukang bakso, para pekerja bangunan, dan orang-orang yang sedang menunggu kendaraan umum. Benakku seakan kembali ke masa lima sampai sepuluh tahun silam, romantisme masa lalu semasa aku masih memakai seragam sekolah. Belum terlalu terkontaminasi akan ekspektasi tinggi orang disekitar, gengsi, atau apalah namanya. Aku berjalan kaki dan naik kendaraan umum, bertemu dengan banyak orang dan mengenal orang baru.
Setelah berjalan sedikitnya 100 meter, aku telah berada di depan sebuah rumah makan yang tampaknya harga makanan di dalamnya cukup menghancurkan kantong. Mataku tergoda kemudian otakku berpikir, “Semalam aku di jemput seorang kawan, aku lupa membawa dompet, aku cuma punya uang Rp.5000 yang sudah ada di kantong celana pendekku sejak seminggu lalu” pikiran ini masih berputar-putar di dalam kepalaku. Sambil berpikir aku meraba seluruh kantong yang ada di celanaku, tanganku berhenti di kantong belakang. Kulitku terasa berinteraksi dengan lembaran plastic. Kucabut tanganku dari kantong itu, ternyata memang benar ada selembar uang plastik tepatnya. Bingung sekaligus senang tentunya menemukan lembaran uang Rp. 100.000 di kantong anda dalam keadaan seperti sekarang ini. Aku memasuki rumah makan itu dengan mantap(walaupun orang yang ada didalam mungkin tidak mantap melihatku). Mungkin aku adalah satu-satunya pelanggan hari ini yang tidak memakai mobil pribadi, melainkan hanya jalan kaki.
”Rumah Makan Pondok Bamboo” itulah namanya. Pelayan mengantarkanku menu makanan, banyak sekali pilihan. Ratusan menu seafood tak membuatku tertarik setelah melihat ada nama makanan khas daerah ini terselip di menu makanan tersebut. “Saya pesan satu Coto Makassar mbak” seruku mantap. Sambil menunggu pesanan, aku memeriksa keadaan sekitar dengan mataku. Di belakang mejaku ada sekumpulan orang dengan dandanan khas eksekutif muda ( walaupun wajah mereka sudah tidak muda lagi ) sedang mengapit seorang lelaki paruh baya berpakaian khas PNS. Obrolan mereka seputar tender, proyek dan besar anggaran. Lelaki paruh baya ini mungkin merupakan salah satu kepala dinas atau apalah yang sedang melakukan deal-deal proyek dengan para kontraktor. Mungkin ada kesepakatan kotor (menurut aturan dan pandangan orang banyak ) dalam pertemuan makan siang ini. Aku teringat dengan uang Rp. 100.000 tadi setelah mendengar salah satu dari orang di belakangku ini menyebut besar anggaran. Pikiranku melayang jauh berusaha mengingat kejadian-kejadian semalam. Oh ternyata aku ingat, aku bertemu seorang teman yang hendak memesan beberapa marihuana laminados. Dia memberiku uang Rp. 100.000 dan berkata “ Titip. Tolong ambilkan yah prend!!!”. Hahahahahahaha, untunglah diriku karena dia menitipkan uangnya disaat aku tidak membawa dompet.
Pesananku datang juga, untunglah pesanan ini datang setelah aku tahu dari mana asal uang yang akan membayarnya. Aku makan dengan lahapnya, walaupun aku sedikit terganggu dengan kedatangan rombongan orang aneh (menurutku) yang mengambil tempat di bagian depan dari tempatku duduk. Aku menyebut mereka orang aneh, karena sebagian dari mereka suka bercerita pendek, dan yang lainnya menimpali hanya dengan suara tawa. Suara tawa yang menggelegar, tanpa ada pengantar katanya.
Aku telah menyelesaikan makan siangku. Orang di depanku masih makan dengan lahap, dan masih setia dengan kebiasaan anehnya tertawa lebar walaupun masih banyak makanan yang berada dalam mulutnya. Aku memperhatikan dengan seksama keanehan orang itu. Apapun perkataan seorang diantara mereka, orang yang sama selalu menjawabnya dengan tawa. Seakan-akan orang itu mau menyenangkan orang di depannya. Tetapi dalam pandanganku justru orang itu menampakkan sifat penjilatnya. Aku mengambil kesimpulan (sok ilmiah) dari suara pekikan tawanya yang terdengar hambar, besar dan dibuat-buat. Orang ini sepertinya sedang berusaha mengambil hati lawan bicaranya dengan berpura-pura menyukai lelucon ataupun hanya sekedar cerita kosong dengan tawanya. Dasar aneh.
Sore hari tampaknya sudah tak sabar muncul. Aku beranjak dari meja makan menuju kasir untuk membayar. Ternyata kasirnya adalah seorang ibu yang familiar di panggil dengan panggilan Ibu Aji (panggilan kehormatan kepada orang yang telah menunaikan ibadah Haji walaupun menurutku hatinya belum tentu sudah berHaji).
“tabe’ Ibu” sahutku sambil memberi uang seratus ribuan.
“ikh Lompona,” jawabnya sambil melirik kearahku (mungkin curiga dan masih tak percaya seorang anak muda yang hanya berjalan kaki dan bercelana pendek bisa makan di warungnya). Dia memanggil salah satu pelayannya untuk mengambil stock uang kembalian dari dalam warung. Pelayanan dengan pakaian binal (menurutku) karena memakai rok mini di tengah kerumunan pelanggan laki-laki.
Aku berkata dalam hati “ Aneh juga yah, kasirnya haji tapi pelayannya sexy”
Dan mungkin Ibu Aji ini juga berkata dalam hati “ aneh juga ini anak muda, tidak pake mobil melainkan jalan kaki. Pake celana pendek tetapi tidak pendek”. Hhahahahahahahahaha, ada-ada gajah.
Ada- ada saja perjalananku kali ini. Sebaiknya aku harus kembali (sering) berjalan kaki. Berjalan kaki membantu kita peka terhadap yang terjadi di sekitar kita. Hal ini juga membantu kita mengasah rasa empati kita. Mari lebih (sering) berjalan kaki, mari rasakan indah dan nikmatnya berempati.

Minggu, 25 Juli 2010

#1

Sunday morning kembali dinikmati. Suasana tentram dikarenakan hujan semalam. Hujan memang seringkali menenangkan suasana. Keadaan sehabis hujan seperti ini semakin mendukung rencanaku hari ini untuk menghilangkan sejenak beban di hati dan benakku.
Badai serotonin semalam yang kembali kurasakan, membantu proses diriku untuk berlari atau rehat sejenak dari beban-beban hidup yang beberapa minggu terakhir sangat mengganjal di otakku. Beban akan ekspektasi tinggi yang disandarkan terhadapku. keadaan ini sempat membuatku berpikir, " apa ekspektasi orang disekitarku ini akan memotivasi atau semakin membuatku berada dalam tekan." Entahlah.