Selasa, 03 Agustus 2010

Mari (lebih) Sering Berjalan Kaki

“Fur ko masih dsini atau mau ikut ke bandara???”.
Suara seorang kawan memecah keheningan di dalam kepalaku. Kepala yang masih pusing akibat tidur kurang, kondisi tubuhku juga tampaknya sedang menurun. Ini mungkin karena pancaroba cuaca yang ekstrem akhir-akhir ini (padahal kita tahu kalau musim sudah tak menentu dari beberapa tahun lalu).
“ nda usah ma ikut ke bandara deh, belum mandi ini. Ikut sampe depan ma saja,nanti saya minta jemput sama tetanggaku” jawabku.
Aku tidak ingin menghambat perjalanan kawanku ke bandara untuk menjemput Ibundanya, jangan sampai hanya karena keegoisanku untuk minta diantar pulang ke rumah dia terlambat menjemput salah satu wanita paling berpengaruh dalam hidupnya. Dan kami pun segera turun ke bawah, mobil telah menunggu dan perjalanan pun dimulai.
Jarak rumah temanku ini dari jalan protokol tempat aku janjian dengan tetanggaku untuk di jemput sebenarnya tidak lebih dari 500 meter. Tapi entah kenapa seakan-akan perjalanan 500 meter ini menjadi adegan slow motion. Kami melewati pos polisi, dan seketika itu pula temanku bercerita tentang kegiatan Kuliah Kerja Nyata yang sedang dia jalankan di salah satu Kantor Polsek di kota ini. Dia berandai-andai jikalau dia KKN di polsek yang tadi kami lewati,
“pasti tidak terlalu capekma itu dih??? Dekatnya rumahku itue “ serunya.
Mobil masih serasa bergerak lamban, tiba-tiba becak lewat berlawanan arah dengan kami. Seorang wanita duduk manis diatasnya, tapi tak jelas wajah wanita itu. Masih muda atau sudah setengah baya, yang jelas cuma warna dibalik rok mini yang dia kenakan. Ternyata ukuran rok dan pahanya mungkin tak seimbang, roknya tersingkap dan memperlihatkan secara samar namun pasti warna apa dalamannya. Hahahahaha, aku tertawa dalam hati. Kulihat mata temanku juga memperhatikannya, tetapi kala pandangan kami bertemu kami bertingkah seolah kami tidak melihat dan tertarik akan pemandangan tadi. Obrolan kami masih seputar kegiatan KKN, beberapa rencana liburan yang entah kapan jadinya dan ternyata aku telah sampai ditujuan pertama. Tempat dimana aku akan menunggu jemputan, tempat rame karena merupakan salah satu jalan protokol di kota ini. Aku minta diturunkan, mengucapkan terima kasih dan hal basa-basi lainnya yang biasa diucapkan saat akan berpisah tujuan.
Lima menit aku menunggu, tiba-tiba di dalam otakku ada pikiran lain. Kuambil handphone di kantong celana dan menelpon kawanku yang akan menjemput. Layaknya Direktur perusahaan aku membatalkan jemputanku, “datang mi seng aneh-anehmu. Oke lah, kebetulan ada juga saya kerja” suara temanku diujung telepon sedikit menggerutu. Aku memilih untuk jalan kaki, sudah lama aku tak berjalan kaki di tengah hiruk pikuk kota ini. Mungkin aku sedikit terinspirasi sebuah artikel yang mengangkat mulai pudarnya kebiasaan masyarakat di kota ini untuk berjalan kaki yang baru aku baca seminggu lalu. Panas dan teriknya mentari seakan mendramatisir pilihanku untuk berjalan kaki. Aku melewati penjual buah, tukang bakso, para pekerja bangunan, dan orang-orang yang sedang menunggu kendaraan umum. Benakku seakan kembali ke masa lima sampai sepuluh tahun silam, romantisme masa lalu semasa aku masih memakai seragam sekolah. Belum terlalu terkontaminasi akan ekspektasi tinggi orang disekitar, gengsi, atau apalah namanya. Aku berjalan kaki dan naik kendaraan umum, bertemu dengan banyak orang dan mengenal orang baru.
Setelah berjalan sedikitnya 100 meter, aku telah berada di depan sebuah rumah makan yang tampaknya harga makanan di dalamnya cukup menghancurkan kantong. Mataku tergoda kemudian otakku berpikir, “Semalam aku di jemput seorang kawan, aku lupa membawa dompet, aku cuma punya uang Rp.5000 yang sudah ada di kantong celana pendekku sejak seminggu lalu” pikiran ini masih berputar-putar di dalam kepalaku. Sambil berpikir aku meraba seluruh kantong yang ada di celanaku, tanganku berhenti di kantong belakang. Kulitku terasa berinteraksi dengan lembaran plastic. Kucabut tanganku dari kantong itu, ternyata memang benar ada selembar uang plastik tepatnya. Bingung sekaligus senang tentunya menemukan lembaran uang Rp. 100.000 di kantong anda dalam keadaan seperti sekarang ini. Aku memasuki rumah makan itu dengan mantap(walaupun orang yang ada didalam mungkin tidak mantap melihatku). Mungkin aku adalah satu-satunya pelanggan hari ini yang tidak memakai mobil pribadi, melainkan hanya jalan kaki.
”Rumah Makan Pondok Bamboo” itulah namanya. Pelayan mengantarkanku menu makanan, banyak sekali pilihan. Ratusan menu seafood tak membuatku tertarik setelah melihat ada nama makanan khas daerah ini terselip di menu makanan tersebut. “Saya pesan satu Coto Makassar mbak” seruku mantap. Sambil menunggu pesanan, aku memeriksa keadaan sekitar dengan mataku. Di belakang mejaku ada sekumpulan orang dengan dandanan khas eksekutif muda ( walaupun wajah mereka sudah tidak muda lagi ) sedang mengapit seorang lelaki paruh baya berpakaian khas PNS. Obrolan mereka seputar tender, proyek dan besar anggaran. Lelaki paruh baya ini mungkin merupakan salah satu kepala dinas atau apalah yang sedang melakukan deal-deal proyek dengan para kontraktor. Mungkin ada kesepakatan kotor (menurut aturan dan pandangan orang banyak ) dalam pertemuan makan siang ini. Aku teringat dengan uang Rp. 100.000 tadi setelah mendengar salah satu dari orang di belakangku ini menyebut besar anggaran. Pikiranku melayang jauh berusaha mengingat kejadian-kejadian semalam. Oh ternyata aku ingat, aku bertemu seorang teman yang hendak memesan beberapa marihuana laminados. Dia memberiku uang Rp. 100.000 dan berkata “ Titip. Tolong ambilkan yah prend!!!”. Hahahahahahaha, untunglah diriku karena dia menitipkan uangnya disaat aku tidak membawa dompet.
Pesananku datang juga, untunglah pesanan ini datang setelah aku tahu dari mana asal uang yang akan membayarnya. Aku makan dengan lahapnya, walaupun aku sedikit terganggu dengan kedatangan rombongan orang aneh (menurutku) yang mengambil tempat di bagian depan dari tempatku duduk. Aku menyebut mereka orang aneh, karena sebagian dari mereka suka bercerita pendek, dan yang lainnya menimpali hanya dengan suara tawa. Suara tawa yang menggelegar, tanpa ada pengantar katanya.
Aku telah menyelesaikan makan siangku. Orang di depanku masih makan dengan lahap, dan masih setia dengan kebiasaan anehnya tertawa lebar walaupun masih banyak makanan yang berada dalam mulutnya. Aku memperhatikan dengan seksama keanehan orang itu. Apapun perkataan seorang diantara mereka, orang yang sama selalu menjawabnya dengan tawa. Seakan-akan orang itu mau menyenangkan orang di depannya. Tetapi dalam pandanganku justru orang itu menampakkan sifat penjilatnya. Aku mengambil kesimpulan (sok ilmiah) dari suara pekikan tawanya yang terdengar hambar, besar dan dibuat-buat. Orang ini sepertinya sedang berusaha mengambil hati lawan bicaranya dengan berpura-pura menyukai lelucon ataupun hanya sekedar cerita kosong dengan tawanya. Dasar aneh.
Sore hari tampaknya sudah tak sabar muncul. Aku beranjak dari meja makan menuju kasir untuk membayar. Ternyata kasirnya adalah seorang ibu yang familiar di panggil dengan panggilan Ibu Aji (panggilan kehormatan kepada orang yang telah menunaikan ibadah Haji walaupun menurutku hatinya belum tentu sudah berHaji).
“tabe’ Ibu” sahutku sambil memberi uang seratus ribuan.
“ikh Lompona,” jawabnya sambil melirik kearahku (mungkin curiga dan masih tak percaya seorang anak muda yang hanya berjalan kaki dan bercelana pendek bisa makan di warungnya). Dia memanggil salah satu pelayannya untuk mengambil stock uang kembalian dari dalam warung. Pelayanan dengan pakaian binal (menurutku) karena memakai rok mini di tengah kerumunan pelanggan laki-laki.
Aku berkata dalam hati “ Aneh juga yah, kasirnya haji tapi pelayannya sexy”
Dan mungkin Ibu Aji ini juga berkata dalam hati “ aneh juga ini anak muda, tidak pake mobil melainkan jalan kaki. Pake celana pendek tetapi tidak pendek”. Hhahahahahahahahaha, ada-ada gajah.
Ada- ada saja perjalananku kali ini. Sebaiknya aku harus kembali (sering) berjalan kaki. Berjalan kaki membantu kita peka terhadap yang terjadi di sekitar kita. Hal ini juga membantu kita mengasah rasa empati kita. Mari lebih (sering) berjalan kaki, mari rasakan indah dan nikmatnya berempati.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar